Samarinda, 07 Mei 2022
Bilamana harga
emas turun biasanya banyak orang berkerumun membeli investasi
untuk ditabung. Salah satunya aku, ya aku. Aku adalah sebuah emas yang sudah
ditempa menjadi sebuah cincin. Cincin yang menjadikan aku sebagai saksi histori
seseorang atau bahkan pasangan.Tak banyak pula aku dijadikan tabungan untuk
jangka panjang. Banyak pula temanku dijadikan hadiah atas prestasi seseorang,
dimasukkan kedalam kotak dan dijepit oleh banyak busa merah yang empuk. Gelap
rasanya berada disana, tapi ketika ada cahaya itu tandanya kotak ini sedang
dibuka pemiliknya. Wajah sumringah bahagia yang kulihat saat mereka melakukan
jual beli membuat bahagia melihatnya. Bahagia rasanya seketika aku mendapati
bahwa aku sesuatu yang berharga.
Toko Garuda
adalah salah satu toko perhiasan terkemuka di
Kota Tepian. Kita selalu berkumpul dalam brangkas tua milik Toko Garuda, sambil
mencium aroma khas besi tua brangkas ini. Bila pagi tiba, kami ditempatkan
dalam lemari kaca dengan sinar lampu yang sengaja menyoroti kami, sambil
menunggu tangan-tangan pegawai Toko Garuda mengambil kita apabila ada pelanggan
datang. Tak banyak temanku yang akhirnya menemukan rumahnya, ya rumahnya adalah pelanggan Toko Garuda yang
berhasil deal dengan harga toko.
Seperti malam
biasanya kami berkumpul mengobrol menyimpulkan transaksi penjualan tadi siang.
Dari pelanggan yang menawar secara bombardir, sampai pelanggan cantik yang
langung deal dengan harga toko tanpa
tawar menawar. Hingga bagaimana ekspresi bahagia teman kita yang berhasil
dimasukkan dalam kotak perhiasan milik pelanggan Toko Garuda.
Aku sendiri
disini sudah cukup lama mungkin sudah
setahunan aku disini. Menikmati lalu lalang temanku yang berhasil diadopsi
pelanggan Toko Garuda. Setelah lebaran seperti hari ini, biasanya toko ramai
dikunjungi pelanggan. Tidak jarang juga diantara mereka datang pelanggan baru
yang mencari keperluan penting dalam pernikahan mereka seperti cincin.
Ahh... dengar pernikahan lamunanku semakin dalam. Lamunanku
buyar seketika ocehan Cinci Bayi mulai terdengar)
Cincin Bayi berkata, "Senang rasanya kalau banyak yang beli cincin buat menikah, itu artinya beberapa bulan lagi aku pasti diminati."
Kalung menimpali, "Ya kita harap begitu, senang rasanya bisa ikut menyaksikan kehidupan diluar sana.”
Gelang yang sedari tadi diam kini mulai unjuk suara, “Ada apa dengan kau, Cincin
Nikah? Apa kau sakit? Atau kau gugup ketika mendengar kata pernikahan yang
artinya mungkin saja kau akan dipilih oleh pelanggan?”
Seketika mereka baru sadar bahwa hanya aku yang memasang muka datar. "Ada apakawan, bicaralah...," bujuk Cincin Bayi.
Aku tersadar dari lamunanku. Sejenak kuterdiam, lalu
berkata, “Tidak apa-apa, aku hanya terkenang saaat menjadi cincin pernikahan di
keluarga yang terdahulu.”
"Kalian tahu sekarang tubuhku sudah dipoles sehingga tampil memukau, padahal aku dipoles karena Toko Garuda sepertinya ingin sejarah lama aku memudar," lanjutku lirih.
Samarinda, 20 Mei 1996
Bahagianya aku saat dibeli oleh pasangan muda. Ada kalimat Basmallah yang
terucap saat transaksi telah disetujui. Aku akhirnya bias melihat dunia luar. Aku bahkan menjadi saksi ikrarnya pemuda berusia 28 tahun .Pemuda gagah yang menaruh aku di jari manis tangan kanan istri sahnya. Menikmati
indahnya malam malam pernikahannya. Senda gurau dan melewati derasnya hujan
bersama.
Mereka hidup sederhana ditengah keterbatasan perekonomian. Aku menjadi saksi bagaimana mereka mencari uang dengan cara menjual jus buah kekantor - kantor demi mencari
penghasilan tambahan. Jari ini terkadang disematkan plaster. Selain memudahkan
aku agar tidak tergelincir, plaster ini menjadi saksi bahwa jari manis ini
pernah mencium tajamnya pisau buah.
Samarinda, 02 Pebruari 1997
Aku terpaksa disimpan dulu di dalam lemari. Ya jarinya tidak muat apabila dipaksa memakaiaku. Yaa, ini sudah masuk trisemester akhir kehamilannya. Jarinya membengkak. Tak apa bila aku harus bermalam dalam lemari kayu miliknya. Demi Cece, bayi mungil yang akan
lahir ke dunia ini.
“Wangi kayu lebih alami daripada
bau khas besi brangkas tua”, pikirku. Dari luar laci, aku mendengar lantunan
ayat suci diperdengarkan kepada Cece yang masih di dalam kandungan. Itu
merupakan salah satu kebahagianku setiap malam ketika aku sendiri dan kesepian
di dalam laci.
Meski rumah
ini tidak ada renovasi, saat Cece lahir nuansa rumah ini lebih hangat. Itu yang
kurasakan setelah 3 bulanku di dalam laci. Lembutnya kulit dan halusnya rambut
Cece sering kurasakan tatkala tangan kanan ini mengusap kepalanya. Belum lagi
saat aku dibawanya menepuk-nepuk pantat Cece dan dinyanyikan senandung sholawat
membuat rumah ini seakan hidup.
Samarinda, 16 Januari 1998
PHK membuat perekonomian keluarga ini goyang. Suara
perselisihan terdengar hampir setiap malam, bahkan kadang beriringan dengan
tangis Cece yang meminta perhatian. Perselisihan kecil yang membesar
menimbulkan perkelahian di antara kedua orang tua Cece membuatku terkena
dampaknya. Tubuhku basah karena terkena airmata.
Ada banyak
demo bahkan semua menyebut krismon dikala itu. Kriminal marak terjadi, ada
berita yang pusing aku mendengarnya. Apalagi berita mengenai taksiran aku kala
itu yaitu pergramnya kini melonjak dari harga Rp 27.100 menjadi Rp 75.000.
Harga bahan pokok ikut bersaing ditambah kebutuhan yang semakin meningkat.
Semakin hari aku harus berpegangan kuat pada jari yang semakin hari dibawa berendam didalam air. Ya, aku dibawanya mencuci
baju kegiatan murah meriah sambil membawa Cece.
Aku hapal
saat sabun Cap Tangan yg besar itu digenggam erat untuk dioleskan ke baju. Semakin
sering digilas secara tidak langsung membuat aku semakin mengkilap. Sementara, Ayah
Cece yang masih mencari pekerjaan di luar sana membuat Ibu Cece mencari alternatif lain yaitu
membuka jasa tukang cuci. Sering beberapa kali aku terjatuh karena licinnya
sabun. Bodyku yang mengkilap selalu
terlihat menawan di sela-sela lantai kamar mandi. Sehingga, mudah sekali
ditemukan.
Namun pernah
sekali penemuanku butuh waktu lama. Saat itu aku berada disela-sela lantai sebelah sumur. Ada sisa potongan kertas bekas
sabun yang menutupiku. Sedih karena malam ini udara dingin ditambah hujan. Aku
hanya bisa bersandar pada lumut-lumut yang membuat aku terjepit. Malam ini aku
tidur di luar.
“Apakah Ibu Cece tidak
mencemaskanku?” gerutuku.
Esoknya,
subuh-subuh sekali Ibu Cece mendatangi sumur tempat ia biasa mencuci baju. Lama
dia jongkok sambil membawa satu buah tusuk sate. Dari sudut ke sudut di carinya
kesela-sela retakan semen. Hingga akhirnya dia mencucukku.
“Aduuh!” pekikku.
“Alhamdulillah, Masyallah...” ungkap Ibu Cece.
Diterawangnya
aku... lalu dimasukkan aku ke dalam kantong dasternya.Udara dingin semalam
tergantikan dengan hangatnya daster Ibu Cece.
Sebulan
berselang.
Dalam lirih doa ia berkata,
“Bahwa aku adalah satu-satunya barang yang dia punya.” Hanya aku yang menjadi tumpuan untuk kembali menghidupkan asap
dapurnya. Ada banyak pembicaraan serius kala itu. Aku kadang dilepas dari
jarinya lalu kembali dipasang dijarinya. Kadang aku diterawang layaknya berlian, kadang pula ditaruh
di atas meja sambil dipandangi dengan penuh harapan.
Ayah dan Ibu
Cece sepakat mebuka jasa catering.
Modalnya adalah dengan menjaminkanku di salah satu perusahaan jaminan
milik negara. Aku yang menjadi pengikat ikrar diawal terbentuknya keluarga
mereka hanya bisa pasrah memandang wajah ibu dan Cece beranjak pergi
meninggalkanku. Aku kini diberi label dan dibungkus plastik bening, kemudian
aku berada di brangkas perusahaan tersebut.
Setiap berapa
bulan seringkali aku ditengok tapi tidak diambil. Dengan muka sedih
wajah itu membisikku kala ia menengokku, “Cincin Kawinku, aku harap kamu
bersabar lebih lama,” ucap Ibu Cece sembari
memberikanku pada pegawai jaminan itu.
Setiap malam aku terpenjara sepi, ratapanku sama seperti ratapan semua yang ada dalam brangkas.
Makin lama
ada banyak sepertiku yang datang. Batinku dengan lirih berkata, “Apakah di luar sana makin miris? atau apakah mereka
sudah melupakanku?”
Samarinda, 12 Januari 2000
Akhirnya salah satu pegawai mengambilku. Aku senang saat aku dibawanya dan ditaruh di atas meja. Ada beberapa kertas dan uang di meja itu. Lalu setelahnya aku dimasukkan dalam dompet. Dompet yang yang tak pernah absen dari uang kertas
berwarna abu-abu ini akhirnya dibawanya meninggalkan jauh dari kantor tempat
aku dijaminkan.
Aku sekarang berada di jari manisnya. Senang rasanya, diciumnya aku. Aku kembali menjadi saksi kegiatan mereka, terkadang
ada debu yang menempel padaku. Dan air wudhulah yang selalu membuat aku menjadi
kembali bersih.
"Lalu apa yang membuatmu sampai di Toko Garuda?" tanya si Kalung yang penasaran setelah mendengar
cerita panjangku.
Samarinda, 17 September 2021
Kalau
dihitung-hitung usia Cece sudah 24 tahun. Sudah 2
tahun pula Cece bekerja di Ibukota Jakarta. Pandemi karena wabah virus yang
membuat Cece menanggalkan kepulangannya. Padahal kami di sini sudah sangat rindu. Biasanya Ibu Cece sehabis sholat subuh,
dilihatnya foto tanpa pigura yang disematkan di cermin lemari usang.
Pagi ini aku
masih di
tempat tidur, tak biasanya sehabis sholat Subuh aku
dibawanya berebah di kasur. Lama jari ini tak bergerak, hingga terik matahari
pagi mulai memasuki celah-celah ventilasi. Aneh, biasanya aku bisa merasakan
jari ini hangat atau biasanya aku tahu apabila Ibu Cece sedang tidur. Tapi kali
ini berasa berbeda.
Sementara Ayah
Cece suka membantu-bantu di Masjid. Biasanya ia shalat di masjid dan dilanjutukan membersihkan area masjid. Terkadang juga membantu warga disekitar apabila tenaganya sangat
dibutuhkan. Kebetulan hari ini adalah hari Jumat, hari dimana Ayah Cece membuat
daftar piket masjid untuk seminggu ke depan. Pasti akan lama menunggu
kepulangannya.
Akhirnya terdengar
suara pintu, dan ucapan salam hangat terdengar. Ayah Cece datang dan
menghampiri kami. Tak biasanya kali ini ia langsung ke kamar, lama ia
membangunkan Ibu Cece. Dipegangnya pergelangan tangan cukup lama, tertunduk wajahnya.
Diraihnya tangan kanan Ibu Cece dan diusapkan ke wajahnya. Kali ini ada
keanehan yang kurasakan, aku merasakan hangat pada pipi Ayah Cece namun aku
tidak merasakan kehangatan pada jari Ibu Cece. Tak lama ada kalimat yang keluar
dari mulut Ayah Cece,“Innalillahi Wa
Innalillahi Rojiun.”
Aku hanya
bisa diam.
Aku pasrah
saat seminggu setelah kepulangan Ibunda Cece aku digadaikan ke Toko Garuda. Ini
kali pertama aku merasakan seperti benar-benar benda mati yang tak punya fungsi
apa-apa. Aku mendengar percakapan Ayah Cece dengan Cece dimana ada wasiat Ibu
Cece yang menginginkan bahwa biaya pemakaman bila ia
meninggal menggunakan hasil penjualan cincin pernikahannya. Mungkin karena aku
adalah harta yang selalu melekat padanya dan Ibu Cece tidak mau menyusahkan
orang lain.
Bagai petir
disiang bolong, aku harus berpisah dengan keluarga ini. Betapa tak berartinya
sebuah slogan yang berbunyi “Uang bisa dicari namun kenangan sulit diganti.” “Aku
tak dianggap apa-apa,” sesalku.
Aku yang baru
di Toko Garuda hanya bisa diam melihat hilir mudik transaksi emas di Toko Garuda, karena rasaku masih di keluarga
Cece. Aku sudah mati rasa dengan mesin tempa. Apakah mereka berakhir seperti
ini? Apakah mereka menjadikan kita perhiasan yang bisa dibuang begitu saja?
Tiba-tiba
Kalung memelukku, saat aku tak sanggup bercerita lagi. Cincin Bayi akhirnya
ikut memelukku, “Sudahlah, pada akhirnya kita cuma perhiasan,” tuturnya.
Samarinda, 08 Mei 2022
Hari ini Toko Garuda ramai
pembeli, Koko tampak sibuk bernegoisasi. Kilauanku
sengaja tak kutampilkan karena aku tak ingin tahu keadaan di luar sana. Jam sudah menunjukkan pukul 3 Sore, itu artinya 2
jam lagi Toko Garuda akan tutup.Sudah tidak ada pengunjung yang datang. Hanya
ada sepasang pasangan di parkiran yang baru turun dari motor. Sekilas tak
tampak asing.
Cece...
Ya itu Cece.
Wajah
cantiknya persis seperti almarhumah Ibunya. Lama dia mengamati kami, hingga
akhirnya dia menunjukku. Diangkatnya aku, lalu diterawangnya aku. Disematkan
aku di
jari manisnya.
Diraba-rabanya aku. Tanpa ia sadari aku
mengamati geriknya. Aku hanya bisa terdiam sambil membayangkan 26 tahun silam
aku dibeli dengan polesan berbeda namun aku masih jiwa yang lama.
Samar-samar,
ada kalimat yang terucap saat transaksi sama-sama menuju kata setuju. Seketika
itu aku tersadar, bahwa dahulu kalimat Basmallah yang membuat
aku bertemu. Ya atas ijin Allah aku sekarang kembali ke keluarga Cece. Allah
memberikan jalan setahun aku disini dan kini aku disandingkan dengan keluarga
yang diridhoi-Nya.
“Oke deal,” ucap Koko.
Aku pun mulai dimasukkan ke
dalam kotak busa berwarna merah. Sebelumnya tak lupa aku memberi sepercik kilau
kepada teman-temanku yang mengartikan bahwa aku bahagia karena akan menjadi
cincin pernikahan Cece. Sebuah
misteri bahwa aku bisa kembali ke dalam keluarga ini. Sebuah mekanisme Allah
yang telah mengatur semuanya.