Wednesday, March 30, 2022

CERPEN - CINCIN NIKAH

 

Samarinda, 07 Mei 2022

 

Bilamana harga emas turun biasanya banyak orang berkerumun membeli investasi untuk ditabung. Salah satunya aku, ya aku. Aku adalah sebuah emas yang sudah ditempa menjadi sebuah cincin. Cincin yang menjadikan aku sebagai saksi histori seseorang atau bahkan pasangan.Tak banyak pula aku dijadikan tabungan untuk jangka panjang. Banyak pula temanku dijadikan hadiah atas prestasi seseorang, dimasukkan kedalam kotak dan dijepit oleh banyak busa merah yang empuk. Gelap rasanya berada disana, tapi ketika ada cahaya itu tandanya kotak ini sedang dibuka pemiliknya. Wajah sumringah bahagia yang kulihat saat mereka melakukan jual beli membuat bahagia melihatnya. Bahagia rasanya seketika aku mendapati bahwa aku sesuatu yang berharga.

 

Toko Garuda adalah salah satu toko perhiasan terkemuka di Kota Tepian. Kita selalu berkumpul dalam brangkas tua milik Toko Garuda, sambil mencium aroma khas besi tua brangkas ini. Bila pagi tiba, kami ditempatkan dalam lemari kaca dengan sinar lampu yang sengaja menyoroti kami, sambil menunggu tangan-tangan pegawai Toko Garuda mengambil kita apabila ada pelanggan datang. Tak banyak temanku yang akhirnya menemukan rumahnya, ya rumahnya adalah pelanggan Toko Garuda yang berhasil deal dengan harga toko.

 

Seperti malam biasanya kami berkumpul mengobrol menyimpulkan transaksi penjualan tadi siang. Dari pelanggan yang menawar secara bombardir, sampai pelanggan cantik yang langung deal dengan harga toko tanpa tawar menawar. Hingga bagaimana ekspresi bahagia teman kita yang berhasil dimasukkan dalam kotak perhiasan milik pelanggan Toko Garuda.

 

Aku sendiri disini sudah cukup lama mungkin sudah setahunan aku disini. Menikmati lalu lalang temanku yang berhasil diadopsi pelanggan Toko Garuda. Setelah lebaran seperti hari ini, biasanya toko ramai dikunjungi pelanggan. Tidak jarang juga diantara mereka datang pelanggan baru yang mencari keperluan penting dalam pernikahan mereka seperti cincin.

 

Ahh... dengar pernikahan lamunanku semakin dalam. Lamunanku buyar seketika ocehan Cinci Bayi mulai terdengar)

 

Cincin Bayi berkata, "Senang rasanya kalau banyak yang beli cincin buat menikah, itu artinya beberapa bulan lagi aku pasti diminati."

 

Kalung menimpali, "Ya kita harap begitu, senang rasanya bisa ikut menyaksikan kehidupan diluar sana.”

 

Gelang yang sedari tadi diam kini mulai unjuk suara, “Ada apa dengan kau, Cincin Nikah? Apa kau sakit? Atau kau gugup ketika mendengar kata pernikahan yang artinya mungkin saja kau akan dipilih oleh pelanggan?”

 

Seketika mereka baru sadar bahwa hanya aku yang memasang muka datar. "Ada apakawan, bicaralah...," bujuk Cincin Bayi.

 

Aku tersadar dari lamunanku. Sejenak kuterdiam, lalu berkata, “Tidak apa-apa, aku hanya terkenang saaat menjadi cincin pernikahan di keluarga yang terdahulu.”

 

"Kalian tahu sekarang tubuhku sudah dipoles sehingga tampil memukau, padahal aku dipoles karena Toko Garuda sepertinya ingin sejarah lama aku memudar," lanjutku lirih.

 

Samarinda, 20 Mei 1996

 

Bahagianya aku saat dibeli oleh pasangan muda. Ada kalimat Basmallah yang terucap saat transaksi telah disetujui. Aku akhirnya bias melihat dunia luar. Aku bahkan menjadi saksi ikrarnya pemuda berusia 28 tahun .Pemuda gagah yang menaruh aku di jari manis tangan kanan istri sahnya. Menikmati indahnya malam malam pernikahannya. Senda gurau dan melewati derasnya hujan bersama.

 

Mereka hidup sederhana ditengah keterbatasan perekonomian. Aku menjadi saksi bagaimana mereka mencari uang dengan cara menjual jus buah kekantor - kantor demi mencari penghasilan tambahan. Jari ini terkadang disematkan plaster. Selain memudahkan aku agar tidak tergelincir, plaster ini menjadi saksi bahwa jari manis ini pernah mencium tajamnya pisau buah.

 

Samarinda, 02 Pebruari 1997

 

Aku terpaksa disimpan dulu di dalam lemari. Ya jarinya tidak muat apabila dipaksa memakaiaku. Yaa, ini sudah masuk trisemester akhir kehamilannya. Jarinya membengkak. Tak apa bila aku harus bermalam dalam lemari kayu miliknya. Demi Cece, bayi mungil yang akan lahir ke dunia ini.

 

“Wangi kayu lebih alami daripada bau khas besi brangkas tua”, pikirku. Dari luar laci, aku mendengar lantunan ayat suci diperdengarkan kepada Cece yang masih di dalam kandungan. Itu merupakan salah satu kebahagianku setiap malam ketika aku sendiri dan kesepian di dalam laci.

 

Meski rumah ini tidak ada renovasi, saat Cece lahir nuansa rumah ini lebih hangat. Itu yang kurasakan setelah 3 bulanku di dalam laci. Lembutnya kulit dan halusnya rambut Cece sering kurasakan tatkala tangan kanan ini mengusap kepalanya. Belum lagi saat aku dibawanya menepuk-nepuk pantat Cece dan dinyanyikan senandung sholawat membuat rumah ini seakan hidup.

 

 

 

 

 

 

Samarinda, 16 Januari 1998

 

PHK membuat perekonomian keluarga ini goyang. Suara perselisihan terdengar hampir setiap malam, bahkan kadang beriringan dengan tangis Cece yang meminta perhatian. Perselisihan kecil yang membesar menimbulkan perkelahian di antara kedua orang tua Cece membuatku terkena dampaknya. Tubuhku basah karena terkena airmata.

 

Ada banyak demo bahkan semua menyebut krismon dikala itu. Kriminal marak terjadi, ada berita yang pusing aku mendengarnya. Apalagi berita mengenai taksiran aku kala itu yaitu pergramnya kini melonjak dari harga Rp 27.100 menjadi Rp 75.000. Harga bahan pokok ikut bersaing ditambah kebutuhan yang semakin meningkat. Semakin hari aku harus berpegangan kuat pada jari yang semakin hari dibawa berendam didalam air. Ya, aku dibawanya mencuci baju kegiatan murah meriah sambil membawa Cece.

 

Aku hapal saat sabun Cap Tangan yg besar itu digenggam erat untuk dioleskan ke baju. Semakin sering digilas secara tidak langsung membuat aku semakin mengkilap. Sementara, Ayah Cece yang masih mencari pekerjaan di luar sana membuat Ibu Cece mencari alternatif lain yaitu membuka jasa tukang cuci. Sering beberapa kali aku terjatuh karena licinnya sabun. Bodyku yang mengkilap selalu terlihat menawan di sela-sela lantai kamar mandi. Sehingga, mudah sekali ditemukan.

 

Namun pernah sekali penemuanku butuh waktu lama. Saat itu aku berada disela-sela lantai sebelah sumur. Ada sisa potongan kertas bekas sabun yang menutupiku. Sedih karena malam ini udara dingin ditambah hujan. Aku hanya bisa bersandar pada lumut-lumut yang membuat aku terjepit. Malam ini aku tidur di luar.

 

“Apakah Ibu Cece tidak mencemaskanku?” gerutuku.

 

Esoknya, subuh-subuh sekali Ibu Cece mendatangi sumur tempat ia biasa mencuci baju. Lama dia jongkok sambil membawa satu buah tusuk sate. Dari sudut ke sudut di carinya kesela-sela retakan semen. Hingga akhirnya dia mencucukku.

 

“Aduuh!” pekikku.

 

“Alhamdulillah, Masyallah...” ungkap Ibu Cece.

 

Diterawangnya aku... lalu dimasukkan aku ke dalam kantong dasternya.Udara dingin semalam tergantikan dengan hangatnya daster Ibu Cece.

 

Sebulan berselang.

 

Dalam lirih doa ia berkata, “Bahwa aku adalah satu-satunya barang yang dia punya.” Hanya aku yang menjadi tumpuan untuk kembali menghidupkan asap dapurnya. Ada banyak pembicaraan serius kala itu. Aku kadang dilepas dari jarinya lalu kembali dipasang dijarinya. Kadang aku diterawang layaknya berlian, kadang pula ditaruh di atas meja sambil dipandangi dengan penuh harapan.

 

Ayah dan Ibu Cece sepakat mebuka jasa catering. Modalnya adalah dengan menjaminkanku di salah satu perusahaan jaminan milik negara. Aku yang menjadi pengikat ikrar diawal terbentuknya keluarga mereka hanya bisa pasrah memandang wajah ibu dan Cece beranjak pergi meninggalkanku. Aku kini diberi label dan dibungkus plastik bening, kemudian aku berada di brangkas perusahaan tersebut.

 

Setiap berapa bulan seringkali aku ditengok tapi tidak diambil. Dengan muka sedih wajah itu membisikku kala ia menengokku, “Cincin Kawinku, aku harap kamu bersabar lebih lama,” ucap Ibu Cece sembari memberikanku pada pegawai jaminan itu.

 

Setiap malam aku terpenjara sepi, ratapanku sama seperti ratapan semua yang ada dalam brangkas. Makin lama ada banyak sepertiku yang datang. Batinku dengan lirih berkata, “Apakah di luar sana makin miris? atau apakah mereka sudah melupakanku?”

 

 

Samarinda, 12 Januari 2000

 

Akhirnya salah satu pegawai mengambilku. Aku senang saat aku dibawanya dan ditaruh di atas meja. Ada  beberapa kertas dan uang di meja itu. Lalu setelahnya aku dimasukkan dalam dompet. Dompet yang yang tak pernah absen dari uang kertas berwarna abu-abu ini akhirnya dibawanya meninggalkan jauh dari kantor tempat aku dijaminkan.

 

Aku sekarang berada di jari manisnya. Senang rasanya, diciumnya aku. Aku kembali menjadi saksi kegiatan mereka, terkadang ada debu yang menempel padaku. Dan air wudhulah yang selalu membuat aku menjadi kembali bersih.

 

"Lalu apa yang membuatmu sampai di Toko Garuda?" tanya si Kalung yang penasaran setelah mendengar cerita panjangku.

 

Samarinda, 17 September 2021

 

Kalau dihitung-hitung usia Cece sudah 24 tahun. Sudah 2 tahun pula Cece bekerja di Ibukota Jakarta. Pandemi karena wabah virus yang membuat Cece menanggalkan kepulangannya. Padahal kami di sini sudah sangat rindu. Biasanya Ibu Cece sehabis sholat subuh, dilihatnya foto tanpa pigura yang disematkan di cermin lemari usang.

 

Pagi ini aku masih di tempat tidur, tak biasanya sehabis sholat Subuh aku dibawanya berebah di kasur. Lama jari ini tak bergerak, hingga terik matahari pagi mulai memasuki celah-celah ventilasi. Aneh, biasanya aku bisa merasakan jari ini hangat atau biasanya aku tahu apabila Ibu Cece sedang tidur. Tapi kali ini berasa berbeda.

 

Sementara Ayah Cece suka membantu-bantu di Masjid. Biasanya ia shalat di masjid dan dilanjutukan membersihkan area masjid. Terkadang juga membantu warga disekitar apabila tenaganya sangat dibutuhkan. Kebetulan hari ini adalah hari Jumat, hari dimana Ayah Cece membuat daftar piket masjid untuk seminggu ke depan. Pasti akan lama menunggu kepulangannya.

 

Akhirnya terdengar suara pintu, dan ucapan salam hangat terdengar. Ayah Cece datang dan menghampiri kami. Tak biasanya kali ini ia langsung ke kamar, lama ia membangunkan Ibu Cece. Dipegangnya pergelangan tangan cukup lama, tertunduk wajahnya. Diraihnya tangan kanan Ibu Cece dan diusapkan ke wajahnya. Kali ini ada keanehan yang kurasakan, aku merasakan hangat pada pipi Ayah Cece namun aku tidak merasakan kehangatan pada jari Ibu Cece. Tak lama ada kalimat yang keluar dari mulut Ayah Cece,“Innalillahi Wa Innalillahi Rojiun.”

 

Aku hanya bisa diam.

 

Aku pasrah saat seminggu setelah kepulangan Ibunda Cece aku digadaikan ke Toko Garuda. Ini kali pertama aku merasakan seperti benar-benar benda mati yang tak punya fungsi apa-apa. Aku mendengar percakapan Ayah Cece dengan Cece dimana ada wasiat Ibu Cece yang menginginkan bahwa biaya pemakaman bila ia meninggal menggunakan hasil penjualan cincin pernikahannya. Mungkin karena aku adalah harta yang selalu melekat padanya dan Ibu Cece tidak mau menyusahkan orang lain.

 

Bagai petir disiang bolong, aku harus berpisah dengan keluarga ini. Betapa tak berartinya sebuah slogan yang berbunyi “Uang bisa dicari namun kenangan sulit diganti.” “Aku tak dianggap apa-apa,” sesalku.

 

Aku yang baru di Toko Garuda hanya bisa diam melihat hilir mudik transaksi emas di Toko Garuda, karena rasaku masih di keluarga Cece. Aku sudah mati rasa dengan mesin tempa. Apakah mereka berakhir seperti ini? Apakah mereka menjadikan kita perhiasan yang bisa dibuang begitu saja?

 

Tiba-tiba Kalung memelukku, saat aku tak sanggup bercerita lagi. Cincin Bayi akhirnya ikut memelukku, “Sudahlah, pada akhirnya kita cuma perhiasan,” tuturnya.

 

Samarinda, 08 Mei 2022

 

Hari ini Toko Garuda ramai pembeli, Koko tampak sibuk bernegoisasi. Kilauanku sengaja tak kutampilkan karena aku tak ingin tahu keadaan di luar sana. Jam sudah menunjukkan pukul 3 Sore, itu artinya 2 jam lagi Toko Garuda akan tutup.Sudah tidak ada pengunjung yang datang. Hanya ada sepasang pasangan di parkiran yang baru turun dari motor. Sekilas tak tampak asing.

 

Cece...

Ya itu Cece.

 

Wajah cantiknya persis seperti almarhumah Ibunya. Lama dia mengamati kami, hingga akhirnya dia menunjukku. Diangkatnya aku, lalu diterawangnya aku. Disematkan aku di jari manisnya. Diraba-rabanya aku. Tanpa ia sadari aku mengamati geriknya. Aku hanya bisa terdiam sambil membayangkan 26 tahun silam aku dibeli dengan polesan berbeda namun aku masih jiwa yang lama.

 

Samar-samar, ada kalimat yang terucap saat transaksi sama-sama menuju kata setuju. Seketika itu aku tersadar, bahwa dahulu kalimat Basmallah yang membuat aku bertemu. Ya atas ijin Allah aku sekarang kembali ke keluarga Cece. Allah memberikan jalan setahun aku disini dan kini aku disandingkan dengan keluarga yang diridhoi-Nya.

 

“Oke deal,” ucap Koko.

 

Aku pun mulai dimasukkan ke dalam kotak busa berwarna merah. Sebelumnya tak lupa aku memberi sepercik kilau kepada teman-temanku yang mengartikan bahwa aku bahagia karena akan menjadi cincin pernikahan Cece. Sebuah misteri bahwa aku bisa kembali ke dalam keluarga ini. Sebuah mekanisme Allah yang telah mengatur semuanya.